SURABAYA, KOMPAS.com — Saat ini bioetanol banyak dipakai sebagai pengganti bahan bakar minyak. Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, berhasil meneliti ganggang air alias alga bisa dipakai sebagai bahan pembuatan bioetanol. Untuk satu liter bioetanol, hanya butuh 0,67 kilogram Algae spirogyra.
Para mahasiswa ITS itu adalah Sulfahri dan Eko Sunarto dari Jurusan Biologi FMIPA, serta Siti Mushlihah dan Renia Setyo Utami dari Teknik Lingkungan FTSP. Mereka mulai melakukan penelitian sejak April lalu yang didanai hibah Dikti dan menemukan kelebihan Algae spirogyra jika diolah menjadi bioetanol.
Lewat penelitian, mereka membuktikan kalau alga lebih efisien dijadikan bioetanol dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol dibutuhkan 8 kg ubi jalar atau 6,5 kg singkong atau 5 kg jagung. Namun, untuk hasil yang sama, dengan Algae spirogyra hanya diperlukan 0,67 kg.
Sulfahri menyebutkan tertarik meneliti alga karena selama ini bioetanol banyak dihasilkan dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, dan ubi jalar. Padahal, bahan-bahan ini masih dibutuhkan sebagai penopang bahan pangan. Sementara alga tersebar di mana-mana dan kandungan karbohidratnya lebih tinggi ketimbang jagung atau umbi-umbian.
Algae spirogyra atau ganggang air yang dipakai sebagai penelitian adalah yang hijau berbentuk benang. Alga yang tersusun atas sel-sel yang membentuk untaian panjang seperti benang ini berkembang biak secara vegetatif dengan cara fragmentasi dan perkembangbiakan secara generatif dengan konjugasi
Algae spirogyra memiliki kandungan karbohidrat hingga 64 persen. Karbohidrat dibutuhkan dalam proses fermentasi yang menghasilkan bioetanol. Alga cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan lahan luas. Selain itu, proses fermentasi juga lebih cepat.
Pengolahan diawali dengan pengeringan manual di bawah terik matahari (lebih kurang tiga hari) atau dikeringkan dalam oven. Setelah kering dicampur air dengan perbandingan 1:15. Lalu dihancurkan dengan blender atau mesin.
Selanjutnya dipanaskan atau proses hidrolisis sekitar dua jam dan didinginkan dalam suhu hingga 4 derajat celsius. Untuk membantu proses fermentasi, ditambahkan enzim aminase. "Proses fermentasi 10 hari memiliki hasil lebih baik," kata Eko.
Untuk mendapatkan bioetanol, dilakukan destilasi. "Hasil dan kualitas tak kalah jika dibandingkan dengan bioetanol bahan lain," tegas Sulfahri.
Kebutuhan BBM nasional bisa dipenuhi lewat produksi bioetanol. Hingga Maret 2008, kebutuhan BBM Indonesia mencapai 1,3 juta barrel per hari, padahal produksi BBM nasional hanya sekitar 900.000 barrel per hari. Sementara total produksi bioetanol Indonesia hingga 30 Juni 2008 hanya sekitar 160.000 kiloliter.
Para mahasiswa ITS itu adalah Sulfahri dan Eko Sunarto dari Jurusan Biologi FMIPA, serta Siti Mushlihah dan Renia Setyo Utami dari Teknik Lingkungan FTSP. Mereka mulai melakukan penelitian sejak April lalu yang didanai hibah Dikti dan menemukan kelebihan Algae spirogyra jika diolah menjadi bioetanol.
Lewat penelitian, mereka membuktikan kalau alga lebih efisien dijadikan bioetanol dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol dibutuhkan 8 kg ubi jalar atau 6,5 kg singkong atau 5 kg jagung. Namun, untuk hasil yang sama, dengan Algae spirogyra hanya diperlukan 0,67 kg.
Sulfahri menyebutkan tertarik meneliti alga karena selama ini bioetanol banyak dihasilkan dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, dan ubi jalar. Padahal, bahan-bahan ini masih dibutuhkan sebagai penopang bahan pangan. Sementara alga tersebar di mana-mana dan kandungan karbohidratnya lebih tinggi ketimbang jagung atau umbi-umbian.
Algae spirogyra atau ganggang air yang dipakai sebagai penelitian adalah yang hijau berbentuk benang. Alga yang tersusun atas sel-sel yang membentuk untaian panjang seperti benang ini berkembang biak secara vegetatif dengan cara fragmentasi dan perkembangbiakan secara generatif dengan konjugasi
Algae spirogyra memiliki kandungan karbohidrat hingga 64 persen. Karbohidrat dibutuhkan dalam proses fermentasi yang menghasilkan bioetanol. Alga cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan lahan luas. Selain itu, proses fermentasi juga lebih cepat.
Pengolahan diawali dengan pengeringan manual di bawah terik matahari (lebih kurang tiga hari) atau dikeringkan dalam oven. Setelah kering dicampur air dengan perbandingan 1:15. Lalu dihancurkan dengan blender atau mesin.
Selanjutnya dipanaskan atau proses hidrolisis sekitar dua jam dan didinginkan dalam suhu hingga 4 derajat celsius. Untuk membantu proses fermentasi, ditambahkan enzim aminase. "Proses fermentasi 10 hari memiliki hasil lebih baik," kata Eko.
Untuk mendapatkan bioetanol, dilakukan destilasi. "Hasil dan kualitas tak kalah jika dibandingkan dengan bioetanol bahan lain," tegas Sulfahri.
Kebutuhan BBM nasional bisa dipenuhi lewat produksi bioetanol. Hingga Maret 2008, kebutuhan BBM Indonesia mencapai 1,3 juta barrel per hari, padahal produksi BBM nasional hanya sekitar 900.000 barrel per hari. Sementara total produksi bioetanol Indonesia hingga 30 Juni 2008 hanya sekitar 160.000 kiloliter.
0 komentar
Posting Komentar